SEKOLAH-SEKOLAH PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN berada dalam kawasan Gedong. Sekolah-sekolah ini berdiri megah di bawah naungan Aghatis berusia ratusan tahun dan dikelilingi pagar besi tinggi berulir melambangkan kedisiplinan dan mutu tinggi pendidikan. Sekolah PN merupakan center of excellence atau tempat bagi semua hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya karena didukung sepenuhnya oleh PN Timah, sebuah korporasi yang kelebihan duit. Institusi pendidikan yang sangat modern ini lebih tepat disebut percontohan bagaimana seharusnya generasi muda dibina.
Gedung-gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur yang tak kalah indahnya dengan rumah bergaya Victoria di sekitarnya. Ruangan kelasnya dicat warna-warni dengan tempelan gambar kartun yang edukatif, poster operasi dasar matematika, tabel pemetaan unsur kimia, peta dunia, jam dinding, termometer, foto para ilmuwan dan penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada kapstok topi. Di setiap kelas ada patung anatomi tubuh yang lengkap, globe yang besar, white board, dan alat peraga konstelasi planet-planet.
Di dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat dalam standar mutu yang sanggat tinggi. Sekolah-sekolah ini memiliki perpustakaan, kantin, guru BP,
laboratorium, perlengkapan kesenian, kegiatan ekstrakurikuler yang bermutu, fasilitas hiburan, dan sarana olahraga—termasuk sebuah kolam renang yang masih disebut dalam bahasa Belanda: zwembad. Di depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang peringatan tegas “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di setiap kelas ada kotak P3K berisi obat-obat pertolongan pertama. Kalau ada siswanya yang sakit maka ia akan langsung mendapatkan pertolongan cepat secara profesional atau segera dijemput oleh mobil ambulans yang meraung-raung.
Mereka memiliki petugas-petugas kebersihan khusus, guru-guru yang bergaji mahal, dan para penjaga sekolah yang berseragam seperti polisi lalu lintas dan selalu meniup-niup peluit. Tali merah bergulung-gulung keren sekali di bahu seragamnya itu.
“Jumlah gurunya banyak.”
Demikian ujar Bang Amran Isnaini bin Muntazis Ilham—yang pernah sekolah di sana—persis pada malam sebelum esoknya aku masuk pertama kali di SD Muhammadiyah itu.
Aku termenung.
“Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau baru kelas satu.” Maka pada malam itu aku tak bsia tidur akibat pusing menghitung berapa banyak
jumlah guru di sekolah PN, tentu saja juga selain karena rasa senang akan masuk sekolah besok.
Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang bapaknya menjadi petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak kampung seperti Bang Amran, tapi tentu saja yang orangtuanya sudah menjadi orang staf. Mereka semua bersih-bersih, rapi, kaya, necis, dan pintar-pintar luar biasa. Mereka selalu mengharumkan nama Belitong dalam lomba-lomba kecerdasan, bahkan sampai tingkat nasional. Sekolah PN sering dikunjungi para pejabat, pengawas sekolah, atau sekolah lain untuk melakukan semacam benchmarking, melihat bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan ditransfer dan bagaimana anak-anak kecil dididik secara ilmiah.
Pendaftaran hari pertama di sekolah PN adalah sebuah perayaan penuh sukacita. Puluhan mobil mewah berderet di depan sekolah dan ratusan anak orang kaya mendaftar. Ada bazar dan pertunjukan seni para siswa. Setiap kelas bisa menampung hampir sebanyak 40 siswa dan paling tidak ada 4 kelas untuk setiap tingkat. SD PN tidak akan
membagi satu pun siswanya kepada sekolah-sekolah lain yang kekurangan murid karena sekolah itu memiliki sumber daya yang melimpah ruah untuk mengakomodasi berapa pun jumlah siswa baru. Lebih dari itu, bersekolah di PN adalah sebuah kehormatan, hingga tak seorang pun yang berhak sekolah di situ sudi dilungsurkan ke sekolah lain.
Ketika mendaftar badan mereka langsung diukur untuk tiga macam seragam harian dan dua macam pakaian olah raga. Mereka juga langsung mendapat kartu perpustakaan dan bertumpuk-tumpuk buku acuan wajib. Seragamnya untuk hari Senin adalah baju biru bermotif bunga rambat yang indah. Sepatu yang dikenakan berhak dan berwarna hitam mengilat. Sangat gagah ketika ber-marching band melintasi kampung. Melihat mereka aku segera teringat pada sekawanan anak kecil yang lucu, putih, dan bersayap, yang turun dari awan—seperti yang biasa kita lihat pada gambar-gambar buku komik. Setiap pagi para murid PN dijemput oleh bus-bus sekolah berwarna biru.
Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. Caranya ber-make up jelas memperlihatkan dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia dan tampak jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang wanita keras yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habis-habisan menghina sekolah kampung. Gerak geriknya diatur sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi.
Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan tentang fasilitas-fasilitas sekolah PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya yang telah menajdi dokter, insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota atau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang waktu itu masih kecil, masih berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh antagonis.
Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong. Selain sekolah miskin itu memang terdapat pula beberapa sekolah negeri di kampung kami. Namun kondisi sekolah negeri tentu lebih baik karena mereka disokong oleh negara. Sementara sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang kelelahan menyokong dirinya sendiri.
Gedung-gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur yang tak kalah indahnya dengan rumah bergaya Victoria di sekitarnya. Ruangan kelasnya dicat warna-warni dengan tempelan gambar kartun yang edukatif, poster operasi dasar matematika, tabel pemetaan unsur kimia, peta dunia, jam dinding, termometer, foto para ilmuwan dan penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada kapstok topi. Di setiap kelas ada patung anatomi tubuh yang lengkap, globe yang besar, white board, dan alat peraga konstelasi planet-planet.
Di dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat dalam standar mutu yang sanggat tinggi. Sekolah-sekolah ini memiliki perpustakaan, kantin, guru BP,
laboratorium, perlengkapan kesenian, kegiatan ekstrakurikuler yang bermutu, fasilitas hiburan, dan sarana olahraga—termasuk sebuah kolam renang yang masih disebut dalam bahasa Belanda: zwembad. Di depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang peringatan tegas “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di setiap kelas ada kotak P3K berisi obat-obat pertolongan pertama. Kalau ada siswanya yang sakit maka ia akan langsung mendapatkan pertolongan cepat secara profesional atau segera dijemput oleh mobil ambulans yang meraung-raung.
Mereka memiliki petugas-petugas kebersihan khusus, guru-guru yang bergaji mahal, dan para penjaga sekolah yang berseragam seperti polisi lalu lintas dan selalu meniup-niup peluit. Tali merah bergulung-gulung keren sekali di bahu seragamnya itu.
“Jumlah gurunya banyak.”
Demikian ujar Bang Amran Isnaini bin Muntazis Ilham—yang pernah sekolah di sana—persis pada malam sebelum esoknya aku masuk pertama kali di SD Muhammadiyah itu.
Aku termenung.
“Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau baru kelas satu.” Maka pada malam itu aku tak bsia tidur akibat pusing menghitung berapa banyak
jumlah guru di sekolah PN, tentu saja juga selain karena rasa senang akan masuk sekolah besok.
Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang bapaknya menjadi petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak kampung seperti Bang Amran, tapi tentu saja yang orangtuanya sudah menjadi orang staf. Mereka semua bersih-bersih, rapi, kaya, necis, dan pintar-pintar luar biasa. Mereka selalu mengharumkan nama Belitong dalam lomba-lomba kecerdasan, bahkan sampai tingkat nasional. Sekolah PN sering dikunjungi para pejabat, pengawas sekolah, atau sekolah lain untuk melakukan semacam benchmarking, melihat bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan ditransfer dan bagaimana anak-anak kecil dididik secara ilmiah.
Pendaftaran hari pertama di sekolah PN adalah sebuah perayaan penuh sukacita. Puluhan mobil mewah berderet di depan sekolah dan ratusan anak orang kaya mendaftar. Ada bazar dan pertunjukan seni para siswa. Setiap kelas bisa menampung hampir sebanyak 40 siswa dan paling tidak ada 4 kelas untuk setiap tingkat. SD PN tidak akan
membagi satu pun siswanya kepada sekolah-sekolah lain yang kekurangan murid karena sekolah itu memiliki sumber daya yang melimpah ruah untuk mengakomodasi berapa pun jumlah siswa baru. Lebih dari itu, bersekolah di PN adalah sebuah kehormatan, hingga tak seorang pun yang berhak sekolah di situ sudi dilungsurkan ke sekolah lain.
Ketika mendaftar badan mereka langsung diukur untuk tiga macam seragam harian dan dua macam pakaian olah raga. Mereka juga langsung mendapat kartu perpustakaan dan bertumpuk-tumpuk buku acuan wajib. Seragamnya untuk hari Senin adalah baju biru bermotif bunga rambat yang indah. Sepatu yang dikenakan berhak dan berwarna hitam mengilat. Sangat gagah ketika ber-marching band melintasi kampung. Melihat mereka aku segera teringat pada sekawanan anak kecil yang lucu, putih, dan bersayap, yang turun dari awan—seperti yang biasa kita lihat pada gambar-gambar buku komik. Setiap pagi para murid PN dijemput oleh bus-bus sekolah berwarna biru.
Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. Caranya ber-make up jelas memperlihatkan dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia dan tampak jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang wanita keras yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habis-habisan menghina sekolah kampung. Gerak geriknya diatur sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi.
Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan tentang fasilitas-fasilitas sekolah PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya yang telah menajdi dokter, insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota atau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang waktu itu masih kecil, masih berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh antagonis.
Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong. Selain sekolah miskin itu memang terdapat pula beberapa sekolah negeri di kampung kami. Namun kondisi sekolah negeri tentu lebih baik karena mereka disokong oleh negara. Sementara sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang kelelahan menyokong dirinya sendiri.
Next Bagian 9 (Penyakit Gila No 5)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.
0 Response to "Laskar Pelangi Bag 8 (Center of Excellence)"
Posting Komentar