tes


Apa sih yang dimaksud adblock killer di blog itu?
Adblock killer menurut saya sendiri ialah sebuah pesan yang disuruh disable adblock ketika ada pengunjung yang memakai adblock, nah untuk melanjutkan surfing atau melihat blog kita harus disable adblock nya terlebih dahulu. Seperti gambar berikut contohnya atau bisa dicoba di blog saya trus anda pakai adblock yang aktif.
Memasang Adblock Killer Di Blog

Terus apa kegunaanya?
Bagi publisher adsense mungkin adblock ialah musuh tersendiri, soalnya jika pengunjung pakai adblock otomatis iklan adsense tidak muncul..
Terus apa tidak menganggu pengunjung?
Kalau menurut saya si tidak soalnya iklan adsense beda sama iklan - iklan lainya seperti contoh iklan pop up yang sangat menganggu jika berlebihan memasang iklan pop up, kalau adsense beda lagi.

Tentunya blog juga butuh biaya to contohnya kuota, trus domain jika pakai domain tld dll.
Setidaknya sama - sama dapat, pengunjung dapat info yang dicari, sedangkan admin blog butuh iklanya tayang.

Oke langsung saja menuju tutorial untuk  Memasang Adblock Killer Di Block berikut :
  • Buka dasbor blogger nya
  • Buka tata letak
  • Tambahkan gadget -> terus pilih html/java script
  • Copy and paste kode dibawah ini di dalam konten


<style>#g207{position:fixed!important;position:absolute;top:0;top:expression ((t=document.documentElement.scrollTop?document.documentElement.scrollTop:document .body.scrollTop)+"px"); left:0;width:100%;height:100%;background-color:#fff;opacity:0.9;filter:alpha(opacity=90);display:block}#g207 p{opacity:1;filter:none;font:bold 16px Verdana,Arial,sans-serif;text-align:center;margin:20% 0}#g207 p a,#g207 p i{font-size:12px}#g207 ~ *{display:none}</style><noscript><i id=g207><p>Please enable JavaScript!<br />Bitte aktiviere JavaScript!<br />S'il vous pla&icirc;t activer JavaScript!<br />Por favor,activa el JavaScript!<br /><a href="http://antiblock.org/">antiblock.org</a></p></i></noscript><script>(function(w,u){var d=w.document,z=typeof u;function g207(){function c(c,i){var e=d.createElement('i'),b=d.body,s=b.style,l=b.childNodes.length;if(typeof i!=z){e.setAttribute('id',i);s.margin=s.padding=0;s.height='100%';l=Math.floor(Math.random()*l)+1}e.innerHTML=c;b.insertBefore(e,b.childNodes[l-1])}function g(i,t){return !t?d.getElementById(i):d.getElementsByTagName(t)};function f(v){if(!g('g207')){c('<p>Please disable your ad blocker!<br/>This site is supported by the advertisement <br/> Please disable your ad blocker to support us!!! </p>','g207')}};(function(){var a=['Adrectangle','PageLeaderAd','ad-column','advertising2','divAdBox','mochila-column-right-ad-300x250-1','searchAdSenseBox','ad','ads','adsense'],l=a.length,i,s='',e;for(i=0;i<l;i++){if(!g(a[i])){s+='<a id="'+a[i]+'"></a>'}}c(s);l=a.length;for(i=0;i<l;i++){e=g(a[i]);if(e.offsetParent==null||(w.getComputedStyle?d.defaultView.getComputedStyle(e,null).getPropertyValue('display'):e.currentStyle.display )=='none'){return f('#'+a[i])}}}());(function(){var t=g(0,'img'),a=['/adaffiliate_','/adops/ad','/adsales/ad','/adsby.','/adtest.','/ajax/ads/ad','/controller/ads/ad','/pageads/ad','/weather/ads/ad','-728x90-'],i;if(typeof t[0]!=z&&typeof t[0].src!=z){i=new Image();i.onload=function(){this.onload=z;this.onerror=function(){f(this.src)};this.src=t[0].src+'#'+a.join('')};i.src=t[0].src}}());(function(){var o={'http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js':'google_ad_client','http://js.adscale.de/getads.js':'adscale_slot_id','http://get.mirando.de/mirando.js':'adPlaceId'},S=g(0,'script'),l=S.length-1,n,r,i,v,s;d.write=null;for(i=l;i>=0;--i){s=S[i];if(typeof o[s.src]!=z){n=d.createElement('script');n.type='text/javascript';n.src=s.src;v=o[s.src];w[v]=u;r=S[0];n.onload=n.onreadystatechange=function(){if(typeof w[v]==z&&(!this.readyState||this.readyState==="loaded"||this.readyState==="complete")){n.onload=n.onreadystatechange=null;r.parentNode.removeChild(n);w[v]=null}};r.parentNode.insertBefore(n,r);setTimeout(function(){if(w[v]!==null){f(n.src)}},2000);break}}}())}if(d.addEventListener){w.addEventListener('load',g207,false)}else{w.attachEvent('onload',g207)}})(window);</script>
  • Jika sudah simpan dan tes pakai adblock
  • Untuk kata - katanya "Please disable your ad blocker! This site is supported by the advertisement Please disable your ad blocker to support us!!" Bisa diganti sesuai selera, kalau tidak mau ribet ya abaikan saja.

Sepasang Kaos Kaki Hitam Bag 2

Sepasang Kaos Kaki Hitam Bag 2WANITA berkaos kaki hitam, begitu gw menyebutnya.
Entah kenapa gw yakin dia orang yg  nangis di depan kamar gw. Sementara Indra ngotot dengan pendapatnya, kalau wanita itu adalah hantu. Soalnya sejak hari pertama gw ketemu dia, sampai satu bulan setelahnya gw nggak pernah liat ada yg keluar masuk kamarnya. Aneh banget kan? Kalau memang  ada penghuninya pasti kelihatan lah siapa yg tinggal di sana. Ini benar-benar aneh. Nggak ada seorangpun yg keluar atau masuk. Sampai gw sempat nyaris setuju dengan pendapat si Gundul. Mungkin benar dia hantu?

Tapi secara keseluruhan gw mulai merasa nyaman tinggal di Karawang. Walaupun gw tetap nggak suka dengan udaranya yg panas, berangsur-angsur semuanya berjalan seperti bagaimana seharusnya. Adaptasi di tempat kerja pun bisa gw lakukan dengan baik. Di kosan sendiri gw mulai punya beberapa teman selain Indra. Malam Minggu sering nongkrong bareng sekedar gitaran atau main gaple. Lumayan mengobati kerinduan pada kampung halaman nun jauh di sana. Hehehe.


Soal wanita berkaoskaki hitam, gw berpikir untuk nggak mempermasalahkannya lagi. Toh selama sebulan ini gw nggak menemukan lagi kejadian aneh seperti malam pertama. Terserah deh  ya  mau  hantu  atau  jejadian  apapun, gw nggak tertarik lagi. Benar-benar nggak tertarik, sampai di suatu pagi, ketika gw lagi duduk sendirian di kursi kecil di depan kamar sambil ngemil. Indra yg semalam kerja lagi tidur di kamarnya.

Saat itulah terdengar langkah kaki menaiki tangga. Dan betapa kagetnya gw begitu tau yg muncul adalah wanita berkaoskaki hitam. Dia memakai kaos oblong putih dengan rok pendek selutut, plus stoking hitamnya. Dia sedikit terkejut begitu melihat gw.

“Pagi...”  dia menyapa gw Iya, dia nyapa gw!

“............”    Terdiam saking kagetnya.

Perasaan dulu dia dingin dan nggak bersahabat banget. Ini kok mendadak nyapa.

“Anak baru ya?” lanjutnya sambil berjalan ke pintu kamarnya.

Gw cuma bisa ngangguk. Dia sempat melempar senyum sebelum kemudian masuk  dan menutup pintu kamarnya.

Heyy, itu tadi beneran dia? Gw  bengong lagi selama beberapa saat. Entah apa yg kemudian mendorong gw ke kamar Indra dan mulai mengetuk pintunya yg terkunci.

“Dul...Dul...” gw memanggilnya. Setelah kenal dekat gw tau ternyata Indra biasa dipanggil teman-temannya di lantai bawah dengan panggilan `Gundul`. Ini tentu karna cukuran rambutnya.

“Ada apaan sih berisik gitu?” pintu akhirnya terbuka setelah beberapa saat nggak kunjung ada jawaban.

“Gw barusan ketemu dia!” kata gw dengan semangat.

“Dia siapa??” ujar Indra dengan  malasnya. Dia keliatan sangat ngantuk dan terganggu.

“Cewek itu,” sambil nunjuk pintu kamarnya. “Barusan gw ketemu dia. Dia sempet nyapa gw juga! Dia beneran manusia!”

“Yaelaah jadi cuma gara-gara gituan doank lo bangunin gw pagi-pagi?? Gw baru tidur bentar woyy!” katanya kesal.

“Sorry. Gw pikir lo mau tau.”

“Enggak. Ngapain juga gw kudu tau?

Bukan urusan gw. Udah ah gw mau tidur lagi.”

Dan pintu di hadapan gw dibanting dengan kasarnya.

“Ya seenggaknya lo kudu tau dia bukan hantu Dul!”

“Masa bodo!” sahut Indra dari dalam.

Ah, iya juga sih kenapa gw jadi heboh gini? Gw berdiri sambil senyum-senyum sendiri. Masih keingetan kejadian barusan. Senyumnya itu loh! Hey, jangan bilang gw jatuh  hati  pada pandangan pertama? Gw benci mengakuinya  but I like it! Ahahaha.

Dan hari ini sepertinya memang hari keberuntungan gw. Malam harinya gw mendapati wanita berkaoskaki hitam ini lagi duduk  di tembok beranda. Sendirian. Masih dengan pakaian yg dipakainya pagi tadi, dia duduk melamun dengan tatapan kosong sambil memeluk lutut.

“Hay,” gw menghampiri dan duduk agak jauh dari tempatnya. “Cuacanya cerah ya?”

“............”Diam.

“Malem-malem di luar sendirian, sambil ngelamun....bisa masuk angin loh,” gw tertawa sendiri.

Dia tetap diam. Nggak menunjukkan sedikitpun ketertarikannya buat membalas obrolan gw.

“Hooy...” gw melambaikan tangan di depan wajahnya. Dia bahkan nggak mengedipkan matanya! Cewek macam apa ini!

Lama-lama jadi kesal juga. Sombong banget ini orang, gerutu gw dalam  hati. Beberapa menit berlalu, cuma ada embusan angin malam yg membuat rambutnya riap-riapan. Gw diam. Dia pun samasekali nggak menggubris kehadiran gw di dekatnya.

“Ekhem,” entah ini yg ke berapa kalinya gw mencoba menarik perhatian si cewek misterius.

Dia masih sangat asyik dengan lamunannya.

“Oooooyy....” Beneran kesel gw!
Mendadak gw inget gitar punya si Indra

ada di kamar. Daripada membusuk karena dikacangin, gw putuskan maen gitar. Gw ke kamar ngambil gitar lalu kembali ke beranda. Kali ini gw duduk sedikit lebih dekat dengannya.

Gw putuskan nyanyi sebuah lagu. Gw pikir lagu ini cocok banget soalnya. Dan bermodal suara pas-pasan, gw pun menyanyi.

Tigapuluh menit kita di sini... Tanpa suara...
Dan aku benci harus menunggu lama... Kata darimu......

Setengah kaget gw terdiam. Wanita berkaoskaki hitam, dia ikut nyanyi.

Oke juga, kata gw dalam hati. Gw lanjutkan lagi. Dia pun masih ikut menyanyi.

Ada yang lain di senyummu Yang membuat lidahku Gugup tak bergerak
Ada pelangi di bola matamu.....

Suara cewek ini benar-benar lembut di telinga gw. Yaah biarpun liriknya banyak yg salah siih. Gw senyum sendiri mengiringi nyanyiannya. Tapi mendadak dia turun, lalu bergegas ke kamarnya tanpa menoleh ke arah gw.

“Hey, mau ke mana?” panggil gw.

Tentu saja ini sia-sia. Karena sedikitpun dia nggak akan menanggapinya.

“Seenggaknya selesaiin dulu lagunya laah............”

Dijawab dengan suara pintu yg terkunci. “............”
Karena kesal gw lanjutkan main gitar sendirian selama beberapa menit.

“Belum tidur lo Ri?” Indra muncul di ujung tangga setelah gw menyanyikan lagu ke enam malam itu.

“Eh....baru balik ngapel lo Dul. Sayang nih lo telat datangnya.”

“Emang kenapa?” dia menyalakan sebatang rokok dan duduk di sebelah gw.

“Gw tau lo nggak akan percaya ini,” gw semangat cerita. “Tapi tadi tuh cewek misterius di depan kamar gw, dia ada di sini. Nyanyi bareng gw!”

Indra kernyitkan dahi. Kepulan asap putih mengepul dari mulutnya.

“Yakin lo?” tanyanya datar.

“Sumpah demi apapun Ndra, gw nggak bohong.”

Dia geleng kepala nggak percaya.

“Besok gw anter lo ke psikiater ya?” katanya prihatin.

“Gw nggak gila, Dul.”

“Nah terus? Mana cewek yg lo  suka ceritain itu? Liat, bahkan lampu kamarnya pun nggak pernah nyala,” dia menunjuk pintu kamar cewek itu.

Hemmmph percuma juga gw ngedebat si Gundul. Pada kenyataannya, memang cuma gw yg pernah liat ada kehidupan di kamar itu. Entah kenapa tiap kali giliran Indra, dia nggak menemukan sesuatu apapun. Seolah dia nggak mau menampakkan diri di depan orang lain!

“Udah jam dua pagi,” ujar Indra. “Kayaknya lo begadang terlalu lama. Tidur gieh.”

Saat itulah ada panggilan masuk di handphone nya dan Indra bergegas masuk ke kamar.

Tinggal gw sendirian. Menatap sebal ke pintu kamar wanita berkaoskaki hitam. Sempat ada niat begadang sampe pagi buat nungguin  dia keluar dari kamarnya, tapi ngapain juga ya? Mengingat mata gw tinggal beberapa watt tersisa gw pun beranjak ke kamar gw.

Next Bagian 3
Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama.

Laskar Pelangi Bag 8 (Center of Excellence)

Laskar Pelangi Bag 8 (Center of Excellence)
SEKOLAH-SEKOLAH PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN berada dalam kawasan Gedong. Sekolah-sekolah ini berdiri megah di bawah naungan Aghatis berusia ratusan tahun dan dikelilingi pagar besi tinggi berulir melambangkan kedisiplinan dan mutu tinggi pendidikan. Sekolah PN merupakan center of excellence atau tempat bagi semua hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya karena didukung sepenuhnya oleh PN Timah, sebuah korporasi yang kelebihan duit. Institusi pendidikan yang sangat modern ini lebih tepat disebut percontohan bagaimana seharusnya generasi muda dibina.

Gedung-gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur yang tak kalah indahnya dengan rumah bergaya Victoria di sekitarnya. Ruangan kelasnya dicat warna-warni dengan tempelan gambar kartun yang edukatif, poster operasi dasar matematika, tabel pemetaan unsur kimia, peta dunia, jam dinding, termometer, foto para ilmuwan dan penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada kapstok topi. Di setiap kelas ada patung anatomi tubuh yang lengkap, globe yang besar, white board, dan alat peraga konstelasi planet-planet.

Di dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat dalam standar mutu yang sanggat tinggi. Sekolah-sekolah ini memiliki perpustakaan, kantin, guru BP,

laboratorium, perlengkapan kesenian, kegiatan ekstrakurikuler yang bermutu, fasilitas hiburan, dan sarana olahraga—termasuk sebuah kolam renang yang masih disebut dalam bahasa Belanda: zwembad. Di depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang peringatan tegas “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di setiap kelas ada kotak P3K berisi obat-obat pertolongan pertama. Kalau ada siswanya yang sakit maka ia akan langsung mendapatkan pertolongan cepat secara profesional atau segera dijemput oleh mobil ambulans yang meraung-raung.

Mereka memiliki petugas-petugas kebersihan khusus, guru-guru yang bergaji mahal, dan para penjaga sekolah yang berseragam seperti polisi lalu lintas dan selalu meniup-niup peluit. Tali merah bergulung-gulung keren sekali di bahu seragamnya itu.

“Jumlah gurunya banyak.”

Demikian ujar Bang Amran Isnaini bin Muntazis Ilham—yang pernah sekolah di sana—persis pada malam sebelum esoknya aku masuk pertama kali di SD Muhammadiyah itu.

Aku termenung.

“Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau baru kelas satu.” Maka pada malam itu aku tak bsia tidur akibat pusing menghitung berapa banyak
jumlah guru di sekolah PN, tentu saja juga selain karena rasa senang akan masuk sekolah besok.
Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang bapaknya menjadi petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak kampung seperti Bang Amran, tapi tentu saja yang orangtuanya sudah menjadi orang staf. Mereka semua bersih-bersih, rapi, kaya, necis, dan pintar-pintar luar biasa. Mereka selalu mengharumkan nama Belitong dalam lomba-lomba kecerdasan, bahkan sampai tingkat nasional. Sekolah PN sering dikunjungi para pejabat, pengawas sekolah, atau sekolah lain untuk melakukan semacam benchmarking, melihat bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan ditransfer dan bagaimana anak-anak kecil dididik secara ilmiah.
Pendaftaran hari pertama di sekolah PN adalah sebuah perayaan penuh sukacita. Puluhan mobil mewah berderet di depan sekolah dan ratusan anak orang kaya mendaftar. Ada bazar dan pertunjukan seni para siswa. Setiap kelas bisa menampung hampir sebanyak 40 siswa dan paling tidak ada 4 kelas untuk setiap tingkat. SD PN tidak akan

membagi satu pun siswanya kepada sekolah-sekolah lain yang kekurangan murid karena sekolah itu memiliki sumber daya yang melimpah ruah untuk mengakomodasi berapa pun jumlah siswa baru. Lebih dari itu, bersekolah di PN adalah sebuah kehormatan, hingga tak seorang pun yang berhak sekolah di situ sudi dilungsurkan ke sekolah lain.
Ketika mendaftar badan mereka langsung diukur untuk tiga macam seragam harian dan dua macam pakaian olah raga. Mereka juga langsung mendapat kartu perpustakaan dan bertumpuk-tumpuk buku acuan wajib. Seragamnya untuk hari Senin adalah baju biru bermotif bunga rambat yang indah. Sepatu yang dikenakan berhak dan berwarna hitam mengilat. Sangat gagah ketika ber-marching band melintasi kampung. Melihat mereka aku segera teringat pada sekawanan anak kecil yang lucu, putih, dan bersayap, yang turun dari awan—seperti yang biasa kita lihat pada gambar-gambar buku komik. Setiap pagi para murid PN dijemput oleh bus-bus sekolah berwarna biru.
Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. Caranya ber-make up jelas memperlihatkan dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia dan tampak jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang wanita keras yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habis-habisan menghina sekolah kampung. Gerak geriknya diatur sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi.
Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan tentang fasilitas-fasilitas sekolah PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya yang telah menajdi dokter, insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota atau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang waktu itu masih kecil, masih berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh antagonis.
Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong. Selain sekolah miskin itu memang terdapat pula beberapa sekolah negeri di kampung kami. Namun kondisi sekolah negeri tentu lebih baik karena mereka disokong oleh negara. Sementara sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang kelelahan menyokong dirinya sendiri.

Next Bagian 9 (Penyakit Gila No 5)


Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea Hirata
Tanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.

Film Indonesia Toba Dreams (Subtitle English)


Film Indonesia Toba Dreams (Subtitle English)
Sinopsis :
Film Indonesia Toba Dreams Menceritakan sesorang Sersan Tebe, seorang yang dulunya pernah menjadi prajurit Indonesia yang kali ini dia mengandalkan hidupnya dengan uang pensiunannya, Dia mulai mengalami banyak kesulitan terutama dalam mengurus anak anaknya dan yang terutama adalah anak pertamanya yang sering bertentangan dengannya, dia adalah Ronggur yang diperankan oleh Vino G.Bastian. Sersan Tebe ingin mengajak seluruh anak anaknya pulang ke kampung halaman, namun sulit untuk mengatur Ronggur , dia justru malah memilih untuk mencari kehidupannya sendiri dijakarta, dalam hal itu ia mulai bertentangan pendapat dengan orang tuanya ia berusaha mencari jati diri dan mencari kehidupan sendiri, inilah pemikiran Ronggur saat ini.Ronggur kemudian merantau ke Jakarta. Disana, Ronggur menjelma menjadi pentolan sebuah geng narkoba dan meraih sukses. Dia kemudian memenjalin hubungan dengan seorang wanita bernama Andini. Namun hubungannya itu ditentang oleh orangtuanya yang tak merestui hubungan mereka. Bagaimana kisah kelanjutan Ronggur di jakarta,  saksikanlah langsung dengan mengunduh filmya di di link bawah ini :

Laskar Pelangi Bag 7 (Zoom Out)

Laskar Pelangi Bag 7 (Zoom Out)
TAK disangsikan, jika di-zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya di Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam di sana, miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran mesin parut, dan miliaran dolar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der Rattenfanger von Hameln. Namun jika di-zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong.

Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan revolusi industri. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika malam tiba mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu.

Di luar tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah negeri, dan satu sekolah kampung Muhammadiyah. Tak ada orang kaya di sana, yang ada hanya kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah-rumah panggung yang renta dalam berbagai ukuran. Rumah-rumah asli Melayu ini sudah ditinggalkan zaman keemasannya. Pemiliknya tak ingin merubuhkannya karena tak ingin berpisah dengan kenangan masa jaya, atau karena tak punya uang.
Di antara rumah panggung itu berdesak-desakan kantor polisi, gudang-gudang logistik PN, kantor telepon, toapekong, kantor camat, gardu listrik, KUA, masjid, kantor pos, bangunan pemerintah—yang dibuat tanpa perencanaan yang masuk akal sehingga menjadi bangunan kosong telantar, tandon air, warung kopi, rumah gadai yang selalu dipenuhi pengunjung, dan rumah panjang suku Sawang.

Komunitas Tionghoa tinggal di bangunan permanen yang juga digunakan sebagai toko. Mereka tidak memiliki pekarangan. Adapun pekarangan rumah orang Melayu ditumbuhi jarak pagar, beluntas, beledu, kembang sepatu, dan semak belukar yang membosankan. Pagar kayu saling-silang di parit bersemak di mana tergenang air mati berwarna cokelat—juga sangat membosankan. Entok dan ayam kampung berkeliaran seenaknya. Kambing yang tak dijaga melalap tanaman bunga kesayangan sehingga sering menimbulkan keributan kecil.

Jalan raya di kampung ini panas menggelegak dan ingar-bingar oleh suara logam yang saling beradu ketika truk-truk reyot lalu-lalang membawa berbagai peralatan teknik eksplorasi timah. Kawasan kampung ini dapat disebut sebagai urban atau perkotaan. Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN sebagai mayoritas, penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran, pegawai kanotr desa, pedagang, dan pensiunan. Sepanjang waktu mereka hilir mudik dengan sepeda. Semuanya, para penduduk, kambing, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu, tak teratur, tak berseni, dan kusam.
Keseharian orang pinggiran ini amat monoton. Pagi yang sunyi senyap mendadak sontak berantakan ketika kantor pusat PN Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10. Sirine itu memekakkan telinga dalam radius puluhan kilometer seperti peringatan serangan Jepang dalam pengeboman Pearl Harbour.

Demi mendengar sirine itu, dari rumah-rumah panggung, jalan-jalan kecil, sudut-sudut kampung, rumah-rumah dinas permanen berdinding papan, dan gang-gang sempit bermunculanlah para kuli PN bertopi kuning membanjiri jalan raya. Mereka berdesakan, terburu-buru mengayuh sepeda dalam rombongan besar atau berjalan kaki, karena sepuluh menit lagi jam kerja dimulai. Jumlah mereka ribuan.

Mereka menyerbu tempat kerja masing-masing: bengkel bubut, kilang minyak, gudang beras, dok kapal, dan unit-unit pencucian timah. Para kuli yang bekerja shift di kapal keruk melompat berjejal-jejal ke dalam bak truk terbuka seperti sapi yang akan digiring ke penjagalan. Tepat pukul 7 kembali dibunyikan sirene kedua tanda jam resmi masuk kerja. Lalu tiba-tiba jalan-jalan raya, kampung-kampung, dan pasar kembali lengang, sunyi senyap. Setelah pukul 7 pagi, rumah orang Melayu Belitong hanya dihuni kaum wanita, para pensiunan, dan anak-anak kecil yang belum sekolah. Kampung kembali hidup pada pukul 10, yaitu ketika wanita-wanita itu memainkan orkestra menumbuk bumbu. Suara alu yang dilantakkan ke dalam lumpang kayu bertalu-talu, sahut-menyahut dari rumah ke rumah.
Pukul 12 sirine kembali berbunyi, kali ini adalah sebagai tanda istirahat. Dalam sekejap jalan raya dipenuhi para kuli yang pulang sebentar. Lapar membuat mereka tampak seperti semut-semut hitam yang sarangnya terbakar, lebih tergesa dibanding waktu mereka berangkat pagi tadi. Pukul 2 siang sirine berdengung lagi memanggil mereka bekerja. Para kuli ini akan kembali pulang ke peraduan setelah terdengar sirine yang sangat panjang tepat pukul 5 sore. Demikianlah yang berlangsung selama puluhan tahun lamanya.


TIDAK seperti di Gedong, jika makan orang urban ini tidak mengenal appetizer sebagai perangsang selera, tak mengenal main course, ataupun dessert. Bagi mereka semuanya adalah menu utama. Pada musim barat ketika nelayan enggan melaut, menu utama itu adalah ikan gabus. Para kuli yang bernafsu makan besar sesuai dengan pembakaran kalorinya itu jika makan seluruh tubuhnya seakan tumpah ke atas meja. Agar lebih praktis tak jarang baskom kecil nasi langsung digunakan sebagai piring. Di situlah diguyur semangkuk gangan, yaitu masakna tradisional dengan bumbu kunir. Ketika makan emreka tak diiringi karya Mozart Haffner No. 35 in D Major tapi diiringi rengekan anak-anaknya yang minta dibelikan baju pramuka.

Setiap subuh para istri meniup siong (potongan bambu) untuk menghidupkan tumpukan kayu bakar. Asap mengepul masuk ke dalam rumah, menyembul keluar melalui celah dinding papan, dan membangunkan entok yang dipelihara di bawah rumah panggung. Asap itu membuat penghuni rumah terbatuk-batuk, namun ia amat diperlukan guna menyalakan gemuk sapi yang dibeli bulan sebelumnya dan digantungkan berjuntai-juntai seperti cucian di atas perapian. Gemuk sapi itulah sarapan mereka setiap pagi. Sebelum berangkat para kuli itu tidak minum teh Earlgrey atau cappuccino, melainkan minum air gula aren dicampur jadam untuk menimbulkan efek tenaga kerbau yang akan digunakan sepanjang hari.

Apabila persediaan gemuk sapi menipis dan angin barat semakin kencang, maka menu yang disajikan sangatlah istimewa, yaitu lauk yang diasap untuk sarapan, lauk yang diasin untuk makan siang, dan lauk yang dipepes untuk makan malam, seluruhnya terbuat dari ikan gabus.


DI luar lingkungan urban, berpencar menuju dua arah besar adalah wilayah rural atau pedesaan. Daerha ini memanjang dalam jarak puluhan kilometer menuju ke barat ibu kota Kabupaten: Tanjong Pandan. Sebaliknya, ke arah selatan akan menelusuri jalur ke pedalaman. Jalur ini berangsur-angsur berubah dari aspal menjadi jalan batu merah dan lama-kelamaan menjadi jalan tanah setapak yang berakhir di laut.

Di sepanjang jalur pedesaan rumah penduduk berserakan, berhadap-hadapan dipisahkan oleh jalan raya. Dulu nenek moyang mereka berladang di hutan. Belanda menggiring mereka ke pinggir jalan raya, agar mudah dikendalikan tentu saja. Orang-orang pedesaan ini hidup bersahaja, umumnya berkebun, mengambil hasil hutan, dan mendapat bonus musiman dari siklus buah-buahan, lebah madu, dan ikan air tawar. Mereka mendiami tanah ulayat dan di belakang rumah mereka terhampar ribuan hektar tanah tak bertuan, padang sabana, rawa-rawa layaknya laboratorium alam yang lengkap, dan aliran air bening yang belum tercemar.
Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi

dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga ada, yaitu para camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat publik yang korupsi kecil-kecilan, dan aparat penegak hukum yang mendapat uang dari menggertaki cukong-cukong itu.
Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaannya amat mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang, semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga honorer Pemda, dan semua guru dan kepala sekolah—baik sekolah negeri maupun sekolah kampung—kecuali guru dan kepala sekolah PN.


Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea Hirata
Tanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.

Sepasang Kaos Kaki Hitam Bag 1

Sepasang Kaos Kaki Hitam Bag 1
SEPTEMBER tahun 2000...

Gw pergi jauh dari kota kelahiran gw di Kalimantan untuk mengadu nasib di Jawa. Sebenarnya impian gw adalah kerja di Jakarta, tapi karena surat panggilan yg gw terima beberapa hari yg lalu adalah panggilan dari sebuah perusahaan di Karawang, mau nggak mau gw terdampar di kota panas ini.

Kalau boleh jujur, Karawang bukanlah tempat yg gw idam-idamkan untuk gw tinggali. Selain panasnya yg menyengat, gw lebih suka ada di keramaian ibu kota. Kalau saja bukan karena nyokap yg mendorong buat nerima panggilan ini, gw nggak akan bela-belain  datang ke sini. Tapi toh semua itu sudah ada yg mengatur. Gw yg sempat heran karena merasa nggak pernah kirim surat lamaran ke perusahaan yg berdomisili di Karawang, cuma bisa berdoa semoga ini adalah jalan menuju titik yg gw inginkan semasa kuliah dulu.

Selama tes berlangsung gw nginep di sebuah mesjid karena memang di sini gw nggak punya kenalan ataupun saudara. Setelah ada keputusan bahwa gw keterima kerja, barulah gw nyari tempat tinggal. Dengan ditemani seorang tukang ojek yg gw kenal sewaktu di mesjid, gw diantar ke sebuah kosan di daerah Teluk Jambe. Sebuah rumah kosan yg besar dengan banyak kamar dan terbilang laris. Rata-rata penghuni kosan   ini   adalah   karyawan   yg   bekerja di kawasan industri, tapi ada beberapa juga mahasiswa.

Kosan ini terdiri dari tiga lantai yg masing- masing lantai punya sekitar sembilan kamar, kecuali lantai tiga. Cuma ada enam kamar di sini. Dan karena memang dua lantai di bawah sudah penuh, gw kebagian di lantai tiga, kamar nomor 23 tepatnya. Kamar paling ujung dalam deret koridor sebelah kanan. Ada jarak selebar kurang lebih dua meter, yg memisahkan deret kamar gw dengan deret kamar seberang. Karena terletak paling ujung, kamar gw dan kamar di seberang dihubungkan dengan tembok beranda setinggi satu meter. Dari sini gw bisa mendapatkan pemandangan yg cukup alami. Dulu meskipun panas,  Karawang  masih  punya  banyak sawah.


Jadi pemandangan ini lumayan menyejukkan. Dengan harga sewa seratusribu perbulan, gw sepakat ngambil kamar ini.

Nampaknya kamar ini sudah lama ditinggal sejak penghuni terakhirnya. Sangat kotor dan berdebu. Gw kerja cukup keras buat membenahinya. Pemilik kosan ini tadi sempat beres-beres sih, tapi gw masih berasa  kurang aja. Jadi gw putuskan buat kerja bakti lagi. Dan hari sudah sore ketika gw akhirnya selesai bersih-bersih.

Buru-buru gw cari makan di warung nasi yg letaknya nggak jauh dari kosan. Balik  dari warung gw liat pintu kamar seberang gw terbuka. Gw   nggak   tertarik   dengan   pintu   itu  sampai


seorang wanita muncul dan duduk di depannya.


Berbadan tinggi agak kurus, dengan  hidung mancung dan rambut hitam panjang tergerai. Wajahnya nggak  terlalu  kelihatan karena posisinya yg menunduk sambil memeluk lutut.

“Sore,” sambil berjalan ke kamar gw menyapa.

Hening. Nggak ada jawaban.

“Sore Mbak...” dengan  sedikit mengeraskan volume suara.

Dia tetap diam. Tetap terpaku  memandang lantai dengan pandangan kosong. Seolah mengajak bicara lantai dalam diamnya. Sekilas nggak ada yg aneh dari wanita ini. Gw cuma sedikit heran kok dia pakai stoking hitam ya padahal udara di sini panas.

Gw sempat bermaksud menyapanya sekali lagi, tapi gw urungkan niat gw. Jangankan jawab sapaan, sekedar mengangkat kepala pun enggak. Padahal niat gw kan baik. Sebagai penghuni baru gw cuma mau mengakrabkan diri. Tapi ya sudahlah mungkin dia terlalu asyik dengan lamunannya. Nevermind.

Over all nggak ada yg spesial dari hari pertama gw di kosan ini. Selain wanita di seberang   kamar,  gw   belum   sempat  ngobrol dengan siapapun. Penghuni kamar sebelah gw sangat berisik. Nyetel lagu pakai speaker aktif dengan volume berlebihan sepanjang hari. Makanya gw sangat bersyukur malamnya mati lampu. Mendadak kosan jadi sunyi kayak di gua. Baguslah karena besok pagi gw sudah harus mulai kerja. Jadi nggak boleh telat bangun.

Tapi sampai hampir tengah malam gw belum juga bisa tidur. Kayaknya malam jadi terlalu sunyi gara-gara mati lampu. Nggak terdengar ribut-ribut orang ngobrol dan aktifitas lainnya. Bahkan suara detik jam dinding pun seperti menggema ke seisi kamar.

Gw ingat jam segini biasanya di rumah lagi ngobrol-ngobrol  bareng  bokap  sambil dengerin

acara radio favoritnya, atau nongkrong di pos ronda bareng temen-temen. Dengan keterbatasan alat komunikasi yg ada, ini pertama kalinya gw merasa benar-benar sendirian. Tanpa teman ngobrol dan tanpa lagu-lagu yg selalu gw dengar di radio. Nggak sadar gw jadi senyum- senyum sendiri. Mungkin udah waktunya ya gw meninggalkan semua kebiasaan itu, pikir gw dalam hati.

Malam semakin larut. Gw udah guling- gulingan di kasur tapi belum juga bisa tidur. Entah sudah jam berapa waktu itu. Gw sudah hampir tertidur ketika mendadak terdengar sesuatu yg aneh dan membuat gw kembali terjaga. Asalnya dari luar.

Seperti suara tangisan seorang wanita.

Gw duduk dan memasang telinga baik- baik. Otak pun mulai ngaco, membayangkan sosok horor yg sering gw baca dari buku misteri di perpustakaan. Tapi masa sih gw takut sama sosok yg bahkan belum pernah gw liat seperti apa bentuknya?

Gw dengarkan lagi baik-baik. Benar, ini suara tangisan wanita. Tapi siapa sih orangnya yg tengah malam begini nggak punya kerjaan banget, pake nangis di depan kamar gw! Bikin parno. Terlebih waktu gw sadar ternyata suara tangisannya benar-benar terdengar dekat.  Sangat dekat, di seberang jendela kamar ini. Makin merinding bulu kuduk gw.

Bergegas gw tiduran dan tarik selimut sampai menutupi wajah. Suara tangisan  itu belum lenyap juga.

Kayaknya gw salah pilih kosan nih, gw dalam hati sedikit menyesal. Harusnya gw cari tau dulu latar belakang kosan ini.

“Please jangan masuk ke sini....” dengan bodohnya gw berdoa seperti anak kecil.

Dan dalam ketakutan itu perlahan suara tangisannya mengecil. Makin mengecil sebelum akhirnya benar-benar lenyap dari telinga gw.

Gw tetap siaga memasang telinga. Beberapa   menit   gw   tunggu,   sampai   nggak

terdengar apa-apa lagi. Hufft leganya gw....

Sekitar satu jam setelahnya barulah gw bisa tidur.

Benar-benar bukan malam pertama yg menyenangkan...

HARI pertama kerja...

Praktis gw jadi perhatian orang-orang lama di kantor. Gw masih lumayan kikuk. Untungnya hari ini cuma dikasih kerjaan ringan. Selain orientasi ke line produksi tadi pagi, siangnya   gw

mulai ngerjain data di meja gw. Sejauh ini sih rekan kerja di sini cukup bersahabat. Cuma kebanyakan mereka pake bahasa Sunda yg gw samasekali nggak ngerti.

Gw lagi di ruangan fotokopi, nunggu kopian data gw selesai dikopi OB, ketika seorang rekan kerja menghampiri dan menepuk bahu gw pelan. Seorang laki-laki item dengan rambut kriwilnya tersenyum lebar.

“Anak baru ya?” tanyanya sambil menyerahkan kertas kopian dia ke OB. Saat itu  di ruangan cuma ada gw, dia dan OB petugas fotokopi.

“Iya.”


“Leo,” dia menyodorkan tangannya. “Leo Parlindungan. Divisi Purchasing.”

“Ari, General Affair.” gw menjabat tangannya.

“Dengar-dengar kau datang dari jauh ya?” lanjutnya dengan logat Batak yg kental.

“Kalimantan.”


“Oouwh,” dia mengangguk terkejut. “Kenapa jauh-jauh kemari? Di Kalimantan sudah tak ada pekerjaan?”

“Ada kok. Cuma pengen aja merantau ke Jawa.”


Kami lalu ngobrol ringan sambil nunggu kopian selesai.

“Eh, aku cuma kasihtau. Kau hai-hatilah sama bos kau yg botak itu.”

“Pak Agus? Kenapa?”

“Ya pokoknya hati-hatilah. Sekali salah, bisa habis kau dimarahi. Serem!”

“Waah...makasih infonya,” gw mengambil kertas gw lalu berjalan keluar. Di pintu gw sempat berpapasan dengan seorang wanita, rekan kerja juga. Dia orang lama.

“Halo    Lisa    Parlindungan...”    sempat

terdengar suara Leo menyambut cewek yg baru masuk tadi.

“Jangan sembarangan ganti nama orang ya!” sahut si cewek. Kemudian disusul adu mulut dari keduanya yg terdengar sampai beberapa meter dari ruang fotokopi.

Bodo amat ah. Gw bergegas ke meja gw. Melanjutkan kerjaan, tapi mendadak malah kepikiran kejadian semalam. Yg nangis itu....wanita di kamar seberang gw? Kan keliatannya dia murung banget kayak yg depresi berat. Pasti lagi punya masalah terus nangis malem-malem. Tapi kalau mau nangis kenapa mesti nunggu malem dulu? Kenapa nggak siang aja?  Mungkin  malu  kalau  sampe   kedengaran orang lain. Nah kalo malu, ngapain juga  nangis di depan kamar orang? Duh gw malah jadi ngelantur sendiri.

Gw harus cari tau. Sepulang kerja sorenya gw keluar kamar dengan maksud nyari teman. Kebetulan penghuni kamar sebelah gw yg kemarin berisik, lagi nongkrong di depan pintu kamarnya sambil genjrang-genjreng gitar.

“Wah orang baru ya Mas?” laki-laki dengan cukuran rambut cepak nyaris botak menyapa gw ramah.



Gw duduk di depan pintu kamar. “Ari.” gw memperkenalkan diri.

“Indra. Udah berapa hari di sini? Kok gw baru liat toh?” lanjutnya dengan logat Jawa kental.

“Baru kemaren kok.” Indra mengangguk pelan. “Kerja di mana?”
“Di S***P.”

“Kalo gw di T****a. Udah lumayan lama sih, udah dapet dua tahunan lah ngekos di sini.”

“Waah betah juga yah sama kosan ini.”

Dan kami pun terlibat obrolan ringan selama beberapa lama. Gw sendiri ngerasa si Indra ini orangnya baik juga. Ramah, khas orang Jawa kebanyakan. Dan nggak sungkan sama orang baru kayak gw.

“Eh, Dra..lo tau cewek penghuni kamer depan ini?” gw menunjuk pintu kamar yg tertutup di seberang gw.

“Cewek?” Indra nampak berpikir sebentar. “Enggak ah. Setau gw kamer ini kosong..”

“Masa sih, tapi kemaren gw ketemu penghuninya kok. Dia lagi duduk gitu di situ,” gw menunjuk lagi pintu kamarnya.

“Yg bener? Tapi nggak tau juga sih, gw jarang keluar kamer soalnya. Balik  kerja langsung molor. Nggak begitu sering keluar. Temen-temen yg gw kenal kebanyakan di lantai satu. Di atas sini cuma lo doang yg ngajakin gw ngobrol.”

“Tapi masa samasekali nggak tau? Cuma dua meter jaraknya kamer lo sama kamer dia.”

“Serius gw. Emang kenapa?” “Mmh nggak papa juga sih...” “Lo liat setan kali?”
“Ah, ngawur lo.”


Heyy, apa dia semisterius itu? Yg udah di sini dua tahun aja nggak tau! Gw jadi penasaran.

“Terakhir gw tau yg nempatin kamer ini cowok, karyawan pabrik. Tapi itu udah lama banget hampir setaun yg lalu kalo nggak salah. Kalo lo mau tau, tanya aja sama Pa Haji. Dia kan yg punya kosan ini.”

“Wahh nggak perlu segitunya deh.” gw nyengir malu.

Hmm nggak mungkin juga kayaknya kalo sekarang gw cerita ke Indra soal kejadian semalem. Pasti dia makin yakin yg gw temui kemaren itu hantu. Tapi gw jadi mulai penasaran ya sama cewek berkaos kaki hitam ini. Sekilas gw liat kayaknya dia lumayan cakep juga. Hehehehe.

Baiklah,  gw  akan mencoba  mencari tahu. Kalo ketemu dia lagi, gw akan ajak kenalan.


Next Bagian 2
Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama.

Laskar Pelangi Bag 6 (Gedong)

Laskar Pelangi Bag 6 (Gedong)
PULAU Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah Sumatra yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika korporasi secara sistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai hidup dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan sangat mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun rapi mulai dari para petinggi PN Timah yang disebut “orang staf” atau urang setap dalam dialek lokal sampai pada para tukang pikul pipa di instalasi penambangan serta warga suku Sawang yang menjadi buruh-buruh yuka penjahit karung timah. Salah satu atribut diskriminasi itu adalah sekolah-sekolah PN.

Maka lahirlah kaum menak, implikasi dari institusi yang ingin memelihara citra aristokrat. PN melimpahi orang staf dengan penghasilan dan fasilitas kesehatan, pendidikan, promosi, transportasi, hiburan, dan logistik yang sangat diskriminatif dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka yang bukan orang staf. Mereka, kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme di Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan konsekuensi dari adanya budaya korporasi, bukan karena tradisi paternalistik dari silsilah, subkultur, atau privilese yang dianugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di berbagai tempat lain.

Sepadan dengan kebun gantung yang memesona di pelataran menara Babylonia, sebuah taman kesayangan Tiran Nebuchadnezzar III untuk memuja Dewa Marduk, Gedong adalah land mark Belitong. Ia terisolasi tembok tinggi berkeliling dengan satu akses keluar masuk seperti konsep cul de sac dalam konsep pemukiman modern. Arsitektur dan desain lanskapnya bergaya sangat kolonial. Orang-orang yang tinggal di

dalamnya memiliki nama-nama yang aneh, misalnya Susilo, Cokro, Ivonne, Setiawan, atau Kuntoro, tak ada Muas, Jamali, Sa’indun, Ramli, atau Mahader seperti nama orang-orang Melayu, dan mereka tidak pernah menggunakan bin atau binti.

Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap, mengintergoasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement tipikal kompeni.

Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak, dan kesan itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga tua yang menjatuhkan butir-butir buah semerah darah di atas kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di sana, rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria memiliki jendela-jendela kaca lebar dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana layar bioskop. Rumah-rumah itu ditempatkan pada kontur yang agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastil-kastil kaum bangsawan dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di dalamnya hidup tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau tiga anak yang selalu tampak damai, temaram, dan sejuk.

Setiap rumah memiliki empat bangunan terpisah yang disambungkan oleh selasar-selasar panjang. Itulah rumah utama sang majikan, rumah bagi para pembantu, garasi, dan gudang-gudang. Selasar-selasar itu mengelilingi kolam kecil yang ditumbuhi Nymphaea caereulea atau the blue water lily yang sangat menawan dan di tengahnya terdapat patung anak-anak gendut semacam Manequin Piss legenda negeri Belgia yang menyemprotkan air mancur sepanjang waktu dari kemaluan kecilnya yang lucu.


Pot-pot kayu anggrek mahal Tainia shimadai dan Chysis digantungkan berderet-deret di bibir atap selasar dan di bawahnya tersusun rapi bejana keramik antik bertangga-tangga berisi kaktus Chaemasereas dan Parodia scopa. Untuk urusan bunga ini ada petugas khusus yang merawatnya. Di luar lingkar kolam didirikan sebuah kandang berlubang kotak-kotak kecil persegi berbentuk piramida yang berseni dan ditopang oelh sebuah pilar bergaya Romawi, itulah rumah burung merpati Inggris.

Di dalam rumah utama sang majikan terdapat ruang tamu dengan lampu-lampu yang teduh dan perabot utama di sana adalah sebuah sofa Victorian rosewood berwarna merah. Jika duduk di atasnya seseorang dapat merasa dirinya seperti seorang paduka raja. Di samping ruang tamu adalah ruang makan tempat para penghuni rumah makan malam mengenakan busana senja yang terbaik dan bersepatu. Di meja makan mewah dengan kayu cinnamon glaze, mereka duduk mengelilingi makanan yang namanya bahkan belum ada terjemahannya. Pertama-tama perangsang lapar pumpkin and Gorgonzola soup, lalu hadir caesar salad menu utama, chicken cordon bleu, vitello alla Provenzale, atau …. Pada bagian akhir sebagai makanan penutup adalah creamy cheesecake topped with stawberry puree, buah-buah persik dan prem.
Mereka makan dengan tenang sembari mendengarkan musik klasik yang elegan:Mozart: Haffner No. 35 in D Major. Mereka mematuhi table manner. Setelah melampirkan serbet di atas pangkuannya makan malam dimulai nyaris tanpa suara dan tak ada seorang pun yang menekan bibir meja dengan sikunya.

Sarapan pagi disajikan di ruangan yang berbeda. Ruangan ini terbuka, menghadap ke kebun anggrek dan kolam renang dangkal yang biru. Mejanya juga berbeda yakni terracotta tile top oval yang lucu namun berkelas. Di pagi hari mereka senang mencicipi omelet dan menyeruput the Earl Grey atau cappuccino, lalu mereka melemparkan remah-remah roti pada burung-burung merpati Inggris yang berebutan, rakus tapi jinak.

Halaman setiap rumah sangat luas dan tak dipagar. Kebanyakan didekorasi dengan karya seni instalasi dari konstruksi logam yang maknanya tak mudah dicerna orang awam. Hamparan rumput manila di halaman menyentuh lembut bibir jalan raya dengan tinggi permukaan yang sama. Ada daya tarik tersendiri di situ. Tak ada parit, karena semua sistem pembuangan diatur di bawah tanah. Pekarangan ditumbuhi pinang raja, bambu Jepang, pisang kipas, dan berjenis-jenis palem yang berselang-seling di antara taman-taman bunga umum, ornamen, galeri, angsa-angsa besar yang berkeliaran, kafe members only, patung-patung, snooker bar, sudut-sudut tempat bermain anak-anak berisi ayam-ayam kalkun yang dibiarkan bebas, trotoar untuk membawa anjing jalan-jalan, kolam-kolam renang, dan lapangan-lapangan golf. Tenang dan tidak berisik, kecuali sedikit bunyi, rupanya anjing pudel sedang mengejar beberapa ekor kucing anggora.

Namun, selain suara hewan-hewan lucu itu sore ini terdengar lamat-lamat denting piano dari salah satu kastil Victoria yang terututp rapat berpilar-pilar itu. Floriana atau Flo yang tomboi, salah seorang siswa sekolah PN, sedang les piano. Guru privatnya sangat bersemangat tapi Flo sendiri terkantuk-kantuk tanpa minat. Kedua tangannya menopang wajah murungnya sambil menguap berulang-ulang di samping sebuah instrumen megah: grand piano merk Steinway and sons yang hitam, dingin, dan berkilauan. Wajah Flo seperti kucing kebanyakan tidur dan bangun magrib-magrib.

Bapaknya—seorang Mollen Bas, kepala semua kapal keruk—duduk di sebuah kursi besar semacam singgasana sehingga tubuh kecilnya tenggelam. Kakinya dibungkus sepatu mahal De Carlo cokelat yang elegan, tergantung berayun-ayun lucu. Ia geram pada tingkah si tomboi dan malu pada sang guru, seorang wanita berkacamata, setengah baya, berwajah cerdas dan hanya bisa tersenyum-senyum. Beliau tak henti-henti memohon maaf pada wanita Jawa yang sangat santun itu atas kelakuan anaknya.
Bapak Flo adalah orang hebat, seseorang yang amat terpelajar. Ia adalah insinyur lulusan terbaik dari Technische Universiteit Delf di Holland dari Fakultas
Werktuiqbouwkunde, Maritieme techniek & technische materiaalwetenschappen, yang artinya kurang lebih: jago teknik.


Ia adalah salah satu dari segelintir orang Melayu asli Belitong yang berhak tinggal di Gedong dan orang kampung yang mampu mencapai karier tinggi di jajaran elite orang staf karena kepintarannya. Sebagai Mollen Bas beliau sanggup mengendalikan shift ribuan karyawan, memperbaiki kerusakan kapal keruk yang tenaga-tenaga ahli asing sendiri sudah menyerah, dan mengendalikan aset produksi miliaran dolar. Tapi menghadapi anak perempuan kecilnya, si tomboi gasing yang tak bisa diatur ini, beliau hampir menyerah. Semakin keras suara bapaknya menghardik semakin lebar Flo menguap.
Pokok perkaranya sederhana, yakni beliau telah memiliki beberapa anak laki-laki dan Flo si bungsu, adalah anak perempuan satu-satunya. Namun anak perempuannya ini bersikeras ingin menjadi laki-laki. Setiap hari beliau berusaha memerempuankan Flo antara lain dengan memaksanya kursus piano. Grand piano itu didatangkan dengan kapal khusus dari Jakarta. Guru privat yang merupakan seorang instruktur musik profesional, juga khusus dijemput dari Tanjong Pandan. Lebih dari itu, di sela kesibukannya,

bapaknya rela menunggui Flo kursus, namun yang beliau dapat tak lebih dari uapan-uapan itu. Flo bahkan tak berminat menyentuh tuts-tuts hitam putih yang berkilat-kilat karena pikirannya melayang ke sasana tempat ia latihan kick boxing dan angkat barbel.

Flo tak suka menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Mungkin karena pengharuh dari saudara-saudara kandungnya yang seluruhnya laki-laki atau karena suatu ketidakseimbangan dalam kimia tubuhnya. Maka ia memotong rambut dengan model lurus pendek dan ia belajar mengubah ekspresi wajah cantiknya agar merefleksikan seringai laki-laki. Ia bercelana jeans, kaos oblong, dan membuang anting-anting yang dibelikan ibunya. Guru privat itu memperkenalkan dengan lembut notasi do, mi, sol, si dalam lintasan empat oktaf dan memperlihatkan posisi jari-jemari pada setiap notasi itu sebagai dasar bagi Flo untuk berlatih fingering. Flo menguap lagi.


Next Bagian 7 (zoom out)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea Hirata
Tanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.
 

Laskar Pelangi Bag 5 (The Tower of Babel)

Laskar Pelangi Bag 5 (The Tower of Babel)
JUMLAH orang Tionghoa di kampung kami sekitar sepertiga dari total populasi. Ada orang Kek, ada orang Hokian, ada orang Tongsan, dan ada yang tak tahu asal usulnya. Bisa saja mereka yang lebih dulu mendiami pulau ini daripada siapa pun. Aichang, phok, kiaw, dan khaknai, seluruhnya adalah perangkat penambangan timah primitf yang sekarang dianggap temuan arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama

sekali berada di Pulau Belitong. Komunitas ini selalu tipikal: rendah hati ddan pekerja keras. Meskipun jauh terpisah dari akar budayanya namun mereka senantiasa memelihara adat istiadatnya, dan di Belitong mereka beruntung karena mereka tak perlu jauh-jauh datang ke Jinchanying kalau hanya ingin melihat Tembok Besar Cina.
Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri tembok tinggi yang panjang dan di sana sini tergantung papan peringatan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di atas tembok ini tidak hanya ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat berduri seperti di kamp Auschwitz. Namun, tidak seperti Temok Besar Cina yang melindungi berbagai dinasti dari sebuan suku-suku Mongol di utara, di Belitong tembok yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah dominasi dan perbedaan status sosial.

Di balik tembok itu terlindung sebuah kawasan yang disebut Gedong, yaitu negeri asing yang jika berada di dalmanya orang akan merasa tak sedang berada di Belitong. Dan di dalam sana berdiri sekolah-sekolah PN. Sekolah PN adalah sebutan untuk sekolah milik PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan yang paling berpengaruh di Belitong, bahkan sebuah hegemoni lebih tepatnya, karena timah adalah denyut nadi pulau kecil itu.
Suatu sore seorang gentleman keluar dari balik tembok itu untuk berkeliling kampung dengan sebuah Chevrolet Corvette, lalu esoknya di depan sebuah majelis ia mencibir.

“Tak satu pun kulihat ada anak muda memegang pacul! Tak pernah kulihat orang-orang muda demikian malas seperti di sini.”
Ha? Apa dia kira kami bangsa petani? Kami adalah buruh-buruh tambang yang bangga, padi tak tumbuh di atas tanah-tanah kami yang kaya material tambang!

LAKSANA the Tower of Babel—yakni Menara Babel, metafora tangga menuju surga yang ditegakkan bangsa babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600 tahun lalu, yang berdiri arogan di antara Sungai Tigris dan Eufrat di tanah yang sekarang disebut Irak—timah di Belitong adalah menara gading kemakmuran berkah Tuhan yang

menjalar sepanjang Semenanjung Malaka, tak putus-putus seperti jalian urat di punggung tangan.
Orang Melayu yang merogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal aluvium, hampir di sembarang tempat, akan mendapati lengannya berkilauan karena dilumuri ilmenit atau timah kosong. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai kuning berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari. Pantulan cahaya itu adalah citra yang lebih kemilau dari riak-riak gelombang laut dan membentuk semacam fatamorgana pelangi sebagai mercusuar yang menuntun para nakhoda.

Tuhan memberkahi Belitong dengan timah bukan agar kapal yang berlayar ke pulau itu tidak menyimpang ke Laut Cina Selatan, tetapi timah dialirkan-Nya ke sana untuk menjadi mercusuar bagi penduduk pulau itu sendiri. Adakah mereka telah semena-mena pada rezeki Tuhan sehingga nanti terlunta-lunta seperti di kala Tuhan menguji bangsa Lemuria?

Kilau itu terus menyala sampai jauh malam. Eksploitasi timah besar-besaran secara nonstop diterangi ribuan lampu dengan energi jutaan kilo watt. Jika disaksikan dari udara di malam hari Pulau Belitong tampak seperti familia besar Ctenopore, yakni ubur-ubur yang memancarkan cahaya terang berwarna biru dalam kegelapan latu: sendiri, kecil, bersinar, indah, dan kaya raya. Belitong melayang-layang di antara Selat Gaspar dan Karimata bak mutiara dalma tangkupan kerang.

Dan terberkatilah tanah yang dialiri timah karena ia seperti knautia yang dirubung beragam jenis lebah madu. Timah selalu mengikat material ikutan, yakni harta karun tak ternilai yang melimpah ruah: granit, zirkonium, silika, senotim, monazite, ilmenit, siderit, hematit, clay, emas, galena, tembaga, kaolin, kuarsa, dan topas …. Semuanya berlapis-lapis, meluap-luap, beribu-ribu ton di bawah rumah-rumah panggung kami. Kekayaan ini adalah … bahan dasar kaca berkualitas paling tinggi, bijih besi dan titanium yang bernas, … material terbaik untuk superkonduktor, timah kosong ilmenit yang digunakan laboratorium roket NASA sebagai materi antipanas ekstrem, zirkonium sebagai bahan dasar produk-produk tahan api, emas murni dan timah hitam yang amat mahal, bahkan kami memiliki sumber tenaga nuklir: uranium yang kaya raya. Semua ini sangat kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli Melayu Belitong yang

hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi.
Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kota praja Konstantinopel yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitung yang termasyhur di seluruh negeri sebagai Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, bendungan, dok kapal, sarana telekomunikasi, air, listrik, rumah-rumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa padang golf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan Belitong—sebuah pulau kecil—seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah.

PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploiotasinya tak terbatas. Lahan itu disebut kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh melalui pembayaran royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN mengoperasikan 16 unit emmer bager atau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek isi bumi dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam merambah laut, sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan laksana kawanan dinosaurus.

Di titik tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekonomi, PN tidak hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok feodalistis ala Belanda. Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi di mana pun yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagaian komunitas di Belitong juga termarginalkan dalam ketidakadilan kompensasi tanah ulayah, persamaan kesempatan, dan trickle down effects.

Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea Hirata
Tanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.

Laskar Pelangi Bag 4 (Perempuan - Perempuan Perkasa)

Laskar Pelangi Bag 4 (Perempuan - Perempuan Perkasa)
AKU pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu karang untuk mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri belasan tahun sendirian di tengah rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani mengambil risiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang anak yang sama sekali tak dikenalnya nun jauh di Somalia. Di sekolah Muhammadiyah setiap hari aku membaca keberanian berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini.

N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K.A. Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong—untuk terus mengobarkan pendidikan Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan guru—lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau

melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adinya.

BU MUS adalah seroang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan. Dasar-dasar moral itu menuntun kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks Islam. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengalaman lainnya.
“Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati kami.


Bukankah ini kata-kata yang diilhami surah An-Nisa dan telah diucapkan ratusan kali oleh puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu saja oleh umat. Tapi jika yang mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengung-dengung di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah terlamabat shalat.

Pada kesempatan lain, karena masih kecil tentu saja, kami sering mengeluh mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah yang bocor dan sangat menyusahkan saat musim hujan. Beliau tak menanggapi keluhan itu tapi mengeluarkan sebuah buku berbahasa Belanda dan memerplihatkan sebuah gambar.
Gambar itu adalah sebuah ruangan yang sempit, dikelilingi tembok tebal yang suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. Kesan di dalamnya begitu pengap, angker, penuh kekerasan dan kesedihan.

“inilah sel Pak Karno di sebuah penjara di Bandung, di sini beliau menjalani hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca buku. Beliau adalah salah satu orang tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini.”

Beliau tak melanjutkan ceritanya.

Kami tersihir dalam senyap. Mulai saat itu kami tak pernah lagi memprotes keadaan sekolah kami. Pernah suatu ketika hujan turun amat lebat, petir sambar menyambar. Trapani dan Mahar memakai terindak, topi kerucut dari daun lais khas tentara Vietkong, untuk melindungi jambul mereka. Kucai, Borek, dan Sahara memakai jas hujan kuning bergambar gerigi metal besar di punggungnya dengan tulisan “UPT Bel” (Unit Penambangan Timah Belitong)—jas hujan jatah PN Timah milik bapaknya. Kami sisanya hampir basah kuyup. Tapi sehari pun kami tak pernah bolos, dan kami tak pernah mengeluh, tidak, sedikit pun kami tak pernah mengeluh.


Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi mungkar sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat. Mereka mengajari kami membuat rumah-rumahan dari perdu apit-apit, mengusap luka-luka di kaki kami, membimbing kami cara mengambil wudu, melongok ke dalam sarung kami ketika kami disunat, mengajari kami doa sebelum tidur, memompa ban sepeda kami, dan kadang-kadang membuatkan kami air jeruk sambal.


Mereka adalah ksatria tampa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka laksana manfaat yang diberikan pohon filicium yang menaungi atap kelas kami. Pohon ini meneduhi kami dan dialah saksi seluruh drama ini. Seperti guru-guru kami, filicium memberi napas kehidupan bagi ribuan organisme dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem.


Next Bagian 5 (The Tower Of Babel)

Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea Hirata
Tanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.

Laskar Pelangi Bag 3 (Inisiasi)

Laskar Pelangi Bag 3 (Inisiasi)
TAK susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.

Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami, sepuluh siswa baru ini bercokol selama sembilan tahun di sekolah yang sama dan kelas-kelas yang sama, bahkan susunan kawan sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD dan SMP itu.

Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K. Jika kami sakit, sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru kami akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar bulat seperti kancing jas hujan, yang rasanya sangat pahit. Jika diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu ada tulisan besar APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran Belitong. Obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit.

Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi, pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin berkunjung hanyalah seorang pria yang berpakaian seperti ninja. Di punggungnya tergantung sebuah tabung aluminium besar dengan slang yang menjalar ke sana kemari. Ia seperti akan berangkat ke bulan. Pria ini adalah utusan dari dinas kesehatan yang menyemprot sarang nyamuk dengan DDT. Ketika asap putih tebal mengepul seperti kebakaran hebat, kami pun bersorak-sorak kegirangan.

Sekolah kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga yang layak dicuri. Satu-satunya benda yang menandakan bangunan itu sekolah adalah sebatang tiang bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat

lonceng. Lonceng kami adalah besi bulat berlubang-lubang bekas tungku. Di papan tulis itu terpampang gambar matahari dengan garis-garis sinar berwarna putih. Di tengahnya tertulis:

SD MD

Sekolah Dasar Muhammadiyah


Lalu persis di bawah mathari tadi tertera huruf-huruf arab gundul yang nanti setelah kelas dua, setelah aku pandai membaca huruf arab, aku tahu bahwa tulisan itu berbunyi amar makruf nahi mungkar artinya :menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar”. Itulah pedoman utama warga Muhammadiyah. Kata-kata itu melekat dalam kalbu kami sampai dewasa nanti. Kata-kata yang begitu kami kenal seperti kami mengenal bau alami ibu-ibu kami.

Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?

Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian seperti umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya, atau gambar seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan di sana adalah sebuah poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan. Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang pria tadi melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!

Maka pada intinya tak ada yang baru dalam pembicaraan tentang sekolah yang atapnya bocor, berdinding papan, berlantai tanah, atau yang kalau malam dipakai untuk menyimpan ternak, semua itu telah dialami oleh sekolah kami. Lebih menarik membicarakan tentang orang-orang seperti apa yang rela menghabiskan hidupnya bertahan di sekolah semacam ini. Orang-orang itu tentu saja kepala sekolah kami Pak K.A. Harfan Efendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid.

Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecokelatan yang kusam dan beruban. Hemat kata, wajahnya mirip Tom Hanks, tapi hanya Tom Hanks di dalam film di mana ia terdampar di sebuah pulau sepi, tujuh belas bulan tidak pernah bertemu manusia dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli. Jika kita bertanya tentang jenggotnya yang awut-awtuan, beliau tidak akan repot-repot berdalih tapi segera menyodorkan sebuah buku karya Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandhallawi Rah, R.A. yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot. Cukup membaca pengantarnya saja Anda akan merasa malu sudah bertanya.

K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A. mengalir dalam garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan rumahnya.

Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana panjang yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat pinggang plastik murahan bermotif ketupat melilit tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah dipakai sejak beliau berusia belasan.

Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu maka ketika pertama kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil yang tak kuat mental bisa-bisa langsung terkena sawan. Namun, ketika beliau angkat bicara, tak dinyana, meluncurlah mutiara-

mutiara nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh atmosfer sukacita di sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam waktu yang amat singkat beliau telah merebut hati kami. Bapak yang jahitan kerah kemejanya telah lepas itu bercerita tentang perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang.

“Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa air bah akan datang …,” demikian ceritanya dengan wajah penuh penghayatan.

“Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan telinga mereka, hingga mereka musnah dilamun ombak ….”

Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral pertama bagiku: jika tak rajin sahalat maka pandai-pandailah berenang.

Cerita selanjutnya sangat memukau. Sebuah cerita peperangan besar zaman Rasulullah di mana kekuatan dibentuk oleh iman bukan oleh jumlah tentara: perang Badar! Tiga ratus tiga belas tentara Islam mengalahkan ribuan tentara Quraisy yang kalap dan bersenjata lengkap.
“Ketahuilah wahai keluarga Ghudar, berangkatlah kalian ke tempat-tempat kematian kalian dalam masa tiga hari!” Demikian Pak Harfan berteriak lantang sambil menatap langit melalui jendela kelas kami. Beliau memekikkan firasat mimpi seorang penduduk Mekkah, firasat kehancuran Quraisy dalam kehebatan perang Badar.

Mendengar teriakan itu rasanya aku ingin melonjak dari tempat duduk. Kami ternganga karena suara Pak Harfan yang berat menggetarkan benang-benang halus dalam kalbu kami. Kami menanti liku demi liku cerita dalam detik-detik menegangkan dengan dada berkobar-kobar ingin membela perjuangan para penegak Islam. Lalu Pak Harfan mendinginkan suasana yang berkisah tentang penderitaan dan tekanan yang dialami seorang pria bernama Zubair bin Awam. Dulu nun di tahun 1929 tokoh ini bersusah payah, seperti kesulitan Rasulullah ketika pertama tiba di Madinah, mendirikan sekolah dari jerjak kayu bulat seperti kandang. Itulah sekolah pertama di Belitong. Kemudian muncul para tokoh seperti K.A. Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin yang berkorban habis-habisan melanjutkan sekolah kandang itu menjadi sekolah Muhammadiyah. Sekolah ini adalah sekolah Islam pertama di Belitong, bahkan mungkin di Sumatra Selatan.

Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang badar sekaligus setenang embusan angin pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan gerak lakunya yang memikat. Ada semacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil risiko, dan menikmati daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang mengerti.

Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang yang tak hanya mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering menaikturunkan intonasi, menekan kedua ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua tangannya laksana orang berdoa minta hujan.

Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir dengan lancar ayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai hati kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah sekali.

Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui kata-katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengobarkan semangat kami utnuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.

Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria ini buruk rupa dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya

bercahaya. Jika ia mengucapkan sesuatu kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung didaftarkan orangtuaku di sekolah miskin Muhammadiyah. Aku merasa telah terselamatkan karena orangtuaku memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling dasar bagiku. Aku merasa amat beruntung berada di sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Ada keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang tak ‘kan kutukar dengan seribu kemewahan sekolah lain.

Setiap kali Pak Harfan ingin menguji apa yang telah diceritakannya kami berebutan mengangkat tangan, bahkan kami mengacung meskipun beliau tak bertanya, dan kami mengacung walaupun kami tak pasti akan jawaban. Sayangnya bapak yang penuh daya tarik ini harus mohon diri. Satu jam dengannya terasa hanya satu menit. Kami mengikuti setiap inci langkahnya ketika meninggalkan kelas. Pandangan kami melekat tak lepas-lepas darinya karena kami telah jatuh cinta padanya. Beliau telah membuat kami menyayangi sekolah tua ini. Kuliah umum dari Pak Harfan di hari pertama kami masuk SD Muhammadiyah langsung menancapkan tekad dalam hati kami untuk membela sekolah yang hampir rubuh ini, apa pun yang terjadi.

Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya adalah perkenalan dan akhirnya tibalah giliran A Kiong. Tangisnya sudah reda tapi ia masih terisak. Ketika diminta ke depan kelas ia senang bukan main. Sekarang di sela-sela isaknya ia tersenyum. Ia menggoyang-goyangkan tubuhnya. Tangan kirinya memegang botol air yang kosong—karena isinya tadi ditumpahkan Sahara—dan tangan kanannya menggenggam kuat tutup botol itu.

“Silahkan ananda perkenalkan nama dan alamat rumah …,” pinta Bu Mus lembut pada anak Hokian itu.
A Kiong menatap Bu Mus dengan ragu kemudian ia kembali tersenyum. Bapaknya menyeruak di antara kerumunan orangtua lainnya, ingin menyaksikan anaknya beraksi. Namun, meskipun berulang kali ditanya A Kiong tidak menjawab sepatah kata pun. Ia terus tersenyum dan hanya tersenyum saja.
“Silakan ananda …,” Bu Mus meminta sekali lagi dengan sabar.

Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali tersenyum. Ia berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar. Aku dapat membaca pikiran ayahnya, “Ayolah anakku, kuatkan hatimu, sebutkan namamu! Paling tidak sebutkan

nama bapakmu ini, sekali saja! Jangan bikin malu orang Hokian!” Bapak Tionghoa berwajah ramah ini dikenal sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah dalam kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitung.

Namun, sampai waktu akan berakhir A Kiong masih tetap saja tersenyum. Bu Mus membujuknya lagi.
“Baiklah ini kesempatan terakhir untukmu mengenalkan diri, jika belum bersedia maka harus kembali ke tempat duduk.”
A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tak menjawab. Ia tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang. Pelajaran moral nomor dua: jangan tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal di kebun. Maka berakhirlah perkenalan di bulan Februari yang mengesankan itu.

Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea Hirata
Tanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.